Aku, Perasaan
“Kata Orang, yang namanya laki-laki itu pasti pakai logika dulu. Kalau perempuan baru pakai perasaan.”
Kata-kata seperti itu sudah berkali-kali kudengar, bahkan sudah merasuk kedalam jiwaku.
Terlebih lagi kata-kata seperti itu sudah kuhapal diluar kepalaku, kata-kata masyarakat kuno yang selalu menganggap kalau laki-laki pasti dominan memakai logikanya sedangkan perempuan dominan memakai perasaannya. Tapi menurutku, kata-kata orang itu 100% salah. Tapi yach… itu cuma menurutku, seorang cewek yang bisa dianggap tak berguna. Siapa sih yang sudi meluangkan waktu untuk mendengar perkataan seorang cewek yang bahkan tak bisa mempertahankan kehidupannya sendiri.
*********
Doni, kegelapan
“Sudah aku bilang, kamu terlalu baik untuknya.”
“Terlalu baik atau terlalu polos.”
“Kenapa kamu sinis gitu sama aku, aku gak pernah punya masalah kan sama kamu.”
“Ya, kamu gak pernah punya masalah sama aku. Tapi aku yang bermasalah.”
“Doni, kamu aneh.”
“Kalau memang aneh, lantas kamu mau apa! Kalau aku emang beneran aneh, apa kamu akan nyembuhin aku!!!!”
Aku terima kalau emang perkataan temanku bahwa aku aneh. Aku memang aneh, bahkan terlalu aneh untuk dijadikan teman. Mana ada orang yang gak menganggapmu aneh ketika kamu menganggap suatu kewajaran jika dirimu tak punya teman. Suatu hal yang tidak wajar bagi orang lain ketika seseorang itu tidak mempunyai teman, dan hal yang wajar bagiku karena aku memang lebih suka tak punya teman.
Menurutku, teman hanya orang yang merepotkan. Berlaku baik dan bahagia ketika temannya merasa senang, padahal jauh dalam lubuk hatinya, mereka lebih ingin merasakan kesenangan itu sendiri daripada temannya. Merasa sedih ketika temannya menangis, padahal setelah temannya yang sedih itu pergi, tawa mengembang dibibirnya. Teman hanya kemunafikan, itu bagiku.
“Kalau memang menurutmu seperti itu, dan kau anggap aku juga orang yang termasuk dalam kategori teman yang munafik. So what…. Lebih baik menjadi orang yang munafik daripada tidak peduli sama sekali.”
“Kau menyindirku.”
“Gak, aku hanya mengungkapkan pendapatku ketika kudengar pendapatmu seperti itu. Kau tidak akan menjadi lebih baik karena tidak peduli, tapi kau akan malah terperosok jauh dalam ketidakpedulianmu itu.”
“Tahu apa kau tentang aku!!!”
“Aku tak tahu apa-apa tentang kamu. Yang aku tahu, kau hanya ingin melindungi dirimu dari kemunafikan yang ada. Dan itu hanya akan menambah kebencian dalam hatimu. Kau tak akan pernah menyadari bahwa pelajaran yang berharga datang dari pengalaman.”
Tentu saja, pelajaran yang berharga memang datang dari pengalaman. Sebenarnya tak perlu dikatakan pun, aku sudah tahu tentang hal itu.
Aku masih belum tahu siapa dirimu yang datang secara tiba-tiba dalam hidupku, tapi ketika kau mengatakannya, aku tahu kau berusaha untuk menembus mata batinku, untuk mengetahui lebih jauh tentang diriku. Tak ada cemoohan ‘kau adalah anak teraneh yang pernah kutemui’ dalam matamu, tapi aku menemukan keteduhan. Atau memang keteduhan seperti itukah yang diberikan oleh seorang teman.
*********
“Pernah dikhianati teman palsu?”
“Belum.”
“Pernah disakiti seseorang?”
Aku tak tahu, apakah aku pernah merasa disakiti atau hanya akulah yang merasa tersakiti. Aku tak tahu, apakah kategori ditinggal pergi ibumu ketika kau tahu bahwa kau sangat membutuhkannya itu termasuk disakiti seseorang. Aku hanya bisa diam karena aku benar-benar tak tahu apakah aku benar-benar telah disakiti ibuku atau hanya perasaanku yang hanya merasa tersakiti tanpa pernah disakiti.
“Kalau memang pernah, mana yang paling kau rasakan sakitnya?”
Apakah kau tahu, saat ini detak jantungku seperti drum yang ditabuh ketika sang tokoh utama mau keluar ke panggung. Apakah kau menyadarinya, pandangan matamu membuatku tak bisa berkutik.
“Aku tak tahu, aku hanya merasa sesak ketika memikirkannya.”
“Memikirkan bahwa kau mungkin saja tersakiti kalau mempercayai seseorang, benar begitu?”
Kini, aku telah sadar. Kau mungkin benar-benar seorang Angel, bukan hanya namamu yang Angel. Tapi seluruhnya, kau mengerti apa yang kupikirkan, kau mengerti apa yang kurasakan, atau mungkin kau juga tahu bahwa ada perasaan menyelinap dalam hatiku. Memikirkan hal itu bahwa kau akan tahu tentang perasaanku tanpa aku ungkapkan, aku jadi salah tingkah padamu.
“Aku selalu berdoa semoga aku bisa diberi hati yang seluas langit, jadi aku bisa selalu memaafkan orang-orang yang udah nyakitin aku. Kalau kamu gak pernah bisa memaafkan orang yang udah nyakitin kamu, kamu akan terus merasa tersakiti sampai kapanpun.”
“Meski kau disakiti ibumu?” Matamu yang membulat tak percaya dengan perkataanku sungguh meyakinkan aku bahwa kau benar-benar seorang Angel yang mungkin diutus Tuhan untuk menyelamatkanku dari kegelapan yang kuciptakan sendiri.
“Aku tak tahu apa kau bisa memaafkannya meski kau punya hati seluas langit seperti yang kau bilang tadi setelah dia meninggalkanmu sendirian dalam kegelapan yang sunyi dan membiarkanmu sendirian berhari-hari di jalanan sehingga orang-orang mengasihanimu dan memberimu nasi yang udah basi untuk kau makan. Apa kau bisa memaafkan ibumu yang telah susah payah melahirkanmu dan mengenalkanmu pada kekerasan hidup ini.”
“Tapi, yang namanya ibu….”
“Tidak akan tega seperti yang kubilang bukan?! Bahkan hati seluas langit pun tak cukup untukku memaafkannya. Logika tak pernah sejalan dengan perasaanku ketika aku mencoba berpikir untuk segera memaafkan setiap kelakuan ibuku. Tak bisa, perasaan tersakiti itu terlalu kuat untukku memaafkannya.”
“Aku mengerti.”
“Kau tak pernah mengerti apapun, yang kau tahu hanya teori-teori pengalaman yang kau dapat dari buku-buku yang kau baca.”
“Tapi aku mencoba untuk mengerti dirimu dan itulah gunanya teman.”
Berguna atau tak berguna bagiku kamu tetap kamu, dan kini kamu sudah menjadi salah satu temanku selain satu-satunya temanku yang bernama Keisha yang selama ini telah menemaniku dalam kegelapan yang sunyi.
Kau, seorang Angel yang menurutku telah diutus Tuhan untukku belajar bahwa mungkin dengan mempunyai teman aku bisa lebih baik. Kau, yang selalu membulatkan mata ketika aku bicara. Kau yang selalu memandang langit ketika bicara tentang mimpi-mimpimu. Kau, yang selalu berusaha untuk mengerti tentang keadaanku. Dan kau adalah Angel yang selalu tahu apa yang ada dalam pikiranku.
*********
“Aku tak terlalu suka kau dekat dengannya.”
“Kenapa, bukankah seharusnya kau senang karena aku bisa punya teman selain dirimu yang selama ini menjadi temanku satu-satunya.”
“Tapi aku gak suka kau terlalu dekat dengan Angel, aku senang kau punya teman lagi tapi aku berharap itu bukan Angel.”
“Bukankah yang namanya teman itu tidak pilih-pilih, dan bukankah kau yang sebagai temanku harusnya bahagia karena temanmu ini punya seseorang yang didambakan.”
“Kau mendambakan Angel?”
“Apa ada yang salah jika aku mendambakannya?”
“Kau tak tahu siapa Angel.”
“Aku tahu, dia adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk membawaku pergi dari kegelapan ini.”
“Kau terlalu polos Don. Suatu saat kau akan tahu sendiri siapa Angel, dan suatu saat kau akan mengerti lebih baik kau dalam kegelapanmu daripada kau harus keluar dan pergi dari kegelapan itu.”
*********
Undangan berwarna merah jambu dan berbau aroma melati itu masih tergeletak di meja belajarku. Hingga detik ini aku masih belum membukanya, atau mungkin aku tidak akan membukanya. Perasaanku yang berdebam tak berani untuk membaca undangan itu, tanganku pasti akan bergetar seperti saat aku menerima undangan itu dari Keisha.
“Apa kau punya rahasia Don?”
“HAH???”
“Aku selalu punya rahasia, dan rahasia itu selalu membuatku deg-degan. Tapi aku senang punya rahasia. Tahu gak, dengan punya rahasia aku merasa menjadi manusia yang penting di dunia ini karena aku mengemban rahasia dalam diriku ini.”
Aku tak tahu apa yang kau bicarakan, tentang rahasia, manusia penting. Ach, sedikitpun aku tak berminat. Tapi melihat wajahmu yang berseri-seri itu aku jadi ingin tahu apa yang ingin kau ungkapkan dalam ceritamu itu.
“Apa kau gak merasa tersiksa karena harus menyimpan rahasia itu?”
“Mengapa harus tersiksa, aku malah bangga karena aku bisa menyimpan rahasia.”
“Kalau rahasia yang kau emban itu adalah sebuah aib, apa kau akan tetap merasa bangga?” Seperti biasa, matamu membulat menatapku tak percaya dengan kata-kata yang kulontarkan.
“Kenapa? Kau bingung apa kau harus bangga dengan rahasia yang kau simpan atau kau merasa menjadi orang paling malang karena harus menyimpan aib?”
Sejenak kau memejamkan mata, aku melihatmu menarik napas. Mungkin kau mencari sebuah jawaban dalam angin yang kau hirup, kau mencari jawaban yang bisa masuk akal dan tak menyakiti perasaanku. Kau pasti sudah tahu, aku tak menerima jawaban asal tak masuk akal yang dilontarkan sambil ketawa-ketawa. Lama kau memejamkan mata, aku menikmati saat-saat menunggu kau melontarkan jawaban yang mungkin saja kau dapat dari bisikan angin disekitarmu.
“Sungguh hal yang bodoh sekali kalau aku merasa menjadi orang paling malang karena harus menyimpan sebuah aib, justru aku semakin bangga karena aku lebih dipercaya untuk menyimpan aib itu sendiri. Bukankah aib itu termasuk sebuah rahasia yang teramat penting, dan jika aku terpilih untuk menyimpannya berarti aku adalah orang yang paling dipercaya. Dan aku bangga karena aku telah dipercaya untuk menyimpan sebuah rahasia penting yang teramat penting.”
Tak kusangka, ternyata kau justru memberikan jawaban yang membuatku semakin percaya kalau kau adalah Angel. Semakin lama kau semakin memperkokoh pendapatku bahwa kau bukan sembarang Angel.
“Apa kau punya rahasia?”
“Kenapa kau ulangi pertanyaanmu lagi?”
“Karena tadi kau tak menjawabnya, aku tak puas dengan jawaban HAH tadi. Kau meremehkan pertanyaanku.”
“Aku gak meremehkan. Aku hanya kaget, tak biasanya kau bertanya hal yang sangat pribadi seperti ini.”
“Memang kenapa? Kau melarangku untuk bertanya tentang hal seperti ini?”
“Ya, bukankah masih ada etika-etika dalam pertemanan yang masih harus dipertahankan. Dan dengan kau bertanya tentang rahasiaku itu sudah termasuk melanggar etika pertemanan dan kau bisa saja dianggap ikut campur urusan orang.”
Seperti yang kukira, reaksimu hanyalah senyuman. Kau tersenyum sambil melihat awan yang berarak.
“Emang benar apa yang kau katakan, tapi jika ada temanmu yang mencoba untuk mengerti tentang dirimu tak ada salahnya kalau dia bertanya tentang rahasia. Karena dengan bertanya seperti itu, kau akan merasa ada yang memperhatikanmu. Dan dengan bercerita tentang rahasia yang kau miliki, temanmu akan merasa kau telah mempercayainya.”
“Bukankah rahasia itu harus disimpan dan bukan untuk diceritakan.”
“Jika kau masih tak mempercayai temanmu, kau masih bisa untuk memilah-milah rahasia mana yang akan kau ceritakan dan yang akan kau simpan sendiri.”
“Buat apa repot-repot seperti itu, bukankah lebih baik tak usah punya teman jadi tak perlu repot harus mengerti dan mempercayai.”
“Dengan punya teman, kau akan merasa kalau kau tak sendirian dalam duniamu yang gelap ini. Dengan punya teman, kau akan merasa menjadi orang penting didunia ini. Dengan punya teman, kau akan mengerti bahwa nasibmu tak lebih buruk dari temanmu itu. Dan kau akan mengenal apa yang disebut pengorbanan, pengertian, menghargai, dan mensyukuri.”
“Kau tak beda jauh dengan guru PPKN.”
“Hahahaha….. itu karena aku peduli terhadap temanku. Dan itulah gunanya teman.”
Selalu saja seperti ini, ketika tertawa matamu berbinar-binar. Dan selalu saja seperti ini, ketika melihatmu ada perasaan yang terus menyelinap dalam sudut hatiku, aku tak tahu perasaan yang menyelinap itu, tapi yang kutahu perasaan itu membuat jantungku yang berdegup biasa menjadi berdebam tak karuan.
“Apa kau masih berminat untuk mendengar jawabanku atas pertanyaanmu tentang rahasia tadi?”
“Gak, aku gak mau dianggap ikut campur urusan temanku. Kepercayaan temanmu itu adalah hal penting dari segalanya.”
Benar yang kau katakan kalau punya teman itu bisa membuat kita mengerti apa itu bersyukur, karena kini aku bersyukur telah mengenalmu. Kau selalu mengerti apa yang kupikirkan, kau selalu mencoba mengerti perasaanku. Dengan mengatakan kalau kau gak mau dianggap ikut campur urusan teman saja, aku bersyukur karena kau mengatakannya tanpa raut muka kecewa.
*********
”Undangan apa ini Kei?” Aku tak tahu ada sengatan listrik darimana, tapi tanganku bergetar hebat ketika kuterima undangan berwarna merah jambu yang beraroma melati itu.
”Undangan apa ini Kei?!”
”Jangan kau tanya aku terus Don, kau nanti akan tahu sendiri.” Aku masih menatap tak percaya dengan undangan berwarna merah jambu yang masih tergeletak di meja belajarku itu.
”Apa kau percaya cinta?”
”Kenapa kau memandangku seperti itu? Kau tak suka aku bertanya hal ini? Apa aku melanggar etika pertemanan yang ada dengan bertanya hal seperti ini?”
Kau, selalu saja membuat jantungku berdebam lebih keras. Ach... kau selalu saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sanggup membuat detak jantungku berhenti sesaat.
”Mengapa kau bertanya seperti itu?”
”Aku penasaran, apakah seseorang yang tak pernah mempercayai adanya teman juga termasuk seseorang yang tak pernah mempercayai adanya cinta.”
”Apa kau sendiri percaya cinta?”
”Kenapa kau malah balik bertanya?”
Hening.
Seperti biasa aku melihatmu menatap awan yang berarak, rambutmu yang terurai seperti bermain-main dengan angin yang katamu selalu bersahabat denganmu. Aku masih ingat, kau pernah mengatakan bahwa angin adalah tangan Tuhan yang lembut membelai rambutmu dan menurutmu angin juga termasuk suara Tuhan yang jika kau memejamkan mata kau akan mendengar nyanyian indah dari angin. Waktu itu aku hanya tersenyum mendengar kau mengatakannya. Tapi aku tahu, kau tidak sedang bercanda. Setiap kau melihat awan, setiap itu pula kau memejamkan mata. Katamu dengan melakukan hal itu seakan-akan kau dipeluk oleh tangan Tuhan yang hangat.
Ach, selalu saja seperti ini. Anganku menari-nari bersama hembusan angin saat kulihat kau memejamkan mata sambil menikmati keheningan yang ada.
”Kalau saja kau bertanya hal seperti ini saat kita pertama kali bertemu dulu, mungkin aku akan lantang menjawab aku tak percaya sama sekali.”
”Kenapa? Apa sekarang kau merubah cara pandangmu itu, apa kau sekarang sudah percaya bahwa masih ada cahaya didunia ini, bahwa tak selamanya kau harus terkungkung dalam duniamu yang gelap. Apa kau sudah percaya bahwa hidup akan terasa indah dengan adanya cinta?”
”Aku masih belum berpikir sejauh itu.”
”Lalu kenapa kau harus merubah jawabanmu itu?”
”Aku tak tahu.”
”Kau masih belum percaya sepenuhnya pada lingkungan sekitarmu Don, bahkan kau masih belum percaya adanya cinta. Kau masih takut untuk mengungkapkan kepercayaanmu akan adanya cinta Don?”
”Aku hanya tak tahu apa yang harus kujawab. Aku tak tahu apakah aku bisa dianggap percaya atau tidak ketika hatiku merasa bimbang untuk tetap memegang teguh kegelapanku atau aku harus pasrah dan mulai memeluk cinta yang ada.”
”Apa kau takut jika kau keluar dari kegelapanmu dan mulai memeluk cinta, kau bisa saja terluka jika kemudian cinta itu berpaling dari pelukanmu?”
”Aku tak tahu Njel.”
”Kau bukan tak tahu jawabannya Don, sebenarnya kau sangat tahu apa yang kau rasakan saat ini. Kenapa kau merubah cara pandangmu itu?”
Hening. Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, setiap bicara denganmu selalu saja hening akan tercipta. Angin selalu menjadi tokoh utama dalam pembicaraan aku denganmu.
”Kau yang merubah cara pandangku.” Ach, matamu membulat lagi seakan-akan aku memergokimu mencuri hati yang setelah sekian lama kusimpan dalam brankas kegelapanku.
”Angel, ini semua karena kamu. Kamulah yang membuatku mengerti bahwa gelap itu bisa sirna ketika ada cahaya, kegelapan yang selama ini kubuat telah kau sirnakan dengan cahayamu.”
*********
Sudah satu jam aku hanya memandanginya, aku masih belum berani membukanya. Undangan itu ada dalam genggamanku dan tanganku masih bergetar.
”Kau masih mendambakan Angel?”
”Aku sangat bodoh jika masih menjawab iya aku mendambakannya.”
”Kenapa? Apa kau sudah sadar kalau dia bukan Angel seperti yang kau kira.”
”Kau bahagia karena kini aku telah sadar bukan? Bahkan tanpa kau sadari Kei, kau telah menertawakan kesedihanku.”
”Don, sedikitpun tak pernah aku ingin menertawakanmu. Aku selalu mendukungmu, apapun jalan yang kau pilih itu, bahkan ketika kau mulai mendambakan Angel sebenarnya aku takut hal seperti ini akan terjadi. Aku takut kau akan kecewa ketika kau tahu siapa Angel saat kau mulai mempercayainya.”
”Lalu apa maksudmu kau memberiku undangan ini?”
”Jangan salahkan aku jika undangan itu ditujukan padamu.” Aku tak bisa berkata apa-apa, benar kata Keisha ini semua bukan salahnya. Bahkan undangan berwarna merah jambu ini pun tak bersalah dan tak layak untuk dikambinghitamkan.
”Pernah dikhianati teman palsu?”
”Apa kau punya rahasia?”
”Apakah kau percaya cinta?”
Ach, ternyata aku tak terlalu memegang teguh kegelapanku. Dengan mudahnya aku dibodohi seorang Angel, ternyata kau memang bukan sembarang Angel, kau adalah Angel yang salah. Aku terlalu salah dalam menilaimu. Ternyata semua yang kau katakan itu benar, bahwa dengan mempunyai teman kita jadi tahu apa itu pengertian, mempercayai, pengorbanan, dan bahwa pengalaman adalah pelajaran paling berharga.
Aku memang belum pernah dikhianati teman palsu, tapi kaulah yang membuatku mengerti bagaimana rasanya dikhianati teman palsu, kau memberiku pengalaman bahwa seharusnya aku tak boleh terlalu mudah untuk mempercayaimu. Kau memberiku pelajaran untuk bisa mengerti bahwa orang yang mempunyai rahasia banyak itu bisa saja menyimpan sebuah rahasia juga tentang kita dalam hidupnya.
Undangan berwarna merah jambu dan beraroma melati itu tertulis jelas-jelas bahwa itu adalah undangan meet & greet bersama seorang novelis terkenal, dan tak perlu menajamkan penglihatan untuk melihat siapa sang novelis terkenal itu yang akan meluncurkan sebuah novel. Angel Kusumawardhani, sang novelis terkenal abad ini dan undangan itu ditujukan kepadaku sebagai undangan VIP dalam meet & greet itu.
*********
Aku, Diary
Namanya Doni, bagiku dia sangat menawan. Bukan secara fisik yang menawan, tapi secara pemikiran. Cara berpikirnya sangat dewasa, bahkan kalau harus berbicara dengan dia butuh pemikiran yang sangat rasional. Ach, aku mengaguminya. Dia selalu saja tak pernah sekalipun mengobrol dengan orang lain, bahkan denganku saja Cuma sebentar, itupun jika ada perlu.
Doni, yang kata teman-temanku cowok yang aneh, yang hanya punya dunia sendiri itu telah membuatku terus-terusan mengaguminya. Disetiap perkataannya selalu saja membuatku semakin dan semakin mengaguminya, kata-kata yang dilontarkannya selalu saja membuatku terus mengingatnya.
Ach, Doni.... nama yang selalu menentramkan hatiku ketika aku merindukannya. Cowok yang selalu bangga dengan kesendirian dan tak mau lepas dari kegelapannya itu selalu saja membuatku gemas dengan kelakuannya, dia yang selalu menganggapku temannya satu-satunya bahkan tak pernah tahu bahwa jantungku selalu saja ingin melompat keluar ketika dia mengajakku bicara tentang semua pendapat-pendapatnya.
Doni, aku selalu berjanji dalam hatiku untuk terus menemaninya dalam kegelapannya. Dia yang tak pernah mempercayai teman, bahkan aku yang telah menjadi teman satu-satunya pun masih tak bisa dipercayanya.
Ach... aku takut kalau saja aku tak bisa lagi menjadi teman satu-satunya. Aku takut kalau saja Angel terus-terusan menyuruhnya untuk keluar dari dunia gelapnya, aku takut jika Doni berubah dan tak menganggap lagi bahwa kata-kata yang dilontarkannya itu selalu membuatku terus mengingatnya. Aku terus-terusan menelan ketakutanku ini. Angel selalu tahu apa saja, bahkan Doni yang tak pernah kuceritakan padanya itu pun diketahuinya.
”Aku akan membuat perubahan besar dalam diri temanmu itu Kei.” Ketakutanku sungguh menjadi-jadi ketika kudengar Angel mengatakannya dengan rasa percaya dirinya, Angel tak pernah sekalipun bercanda. Angel, kakakku satu-satunya dari ibu yang berbeda yang selalu berasumsi bahwa kehidupan ini sama dengan cerita-cerita dalam novel yang sudah berkali-kali dibuatnya. Angel tak pernah sedikitpun menggunakan perasaannya bahkan terhadap keluarganya, baginya logika nomor satu dan itu sudah cukup dibuktikannya dalam setiap cerita-ceritanya di novel.
”Suatu saat nanti kau akan bangga Kei dengan kakakmu ini dan temanmu Doni itu akan berterima kasih padaku karena dia menjadi tokoh utama dalam ceritaku.”
Ya, itulah Angel, kakak tiriku satu-satunya yang selalu berpendapat bahwa novelnya akan jelek jika dia tidak melakukan pengamatan sendiri bahkan kalau bisa dia sendiri yang merasakan kehidupan yang akan dia tulis dalam novel.
Ketakutanku benar-benar terjadi, Doni semakin masuk dalam kegelapannya ketika dia tahu bahwa dia hanya menjadi obyek observasi Angel dalam membuat novelnya dan mulai lupa bahwa dia masih punya teman satu-satunya. Kini, aku hanya bisa menatapnya dari jauh dan terus-terusan memeluk kerinduanku yang semakin dalam dan semakin dalam. Aku selalu saja hanya bisa pasrah menerima kenyataan yang diciptakan kakakku, aku hanya bisa menunggu novel yang akan terbit sambil terus memeluk kerinduan yang semakin membuncah.
Doni, sebuah nama yang selalu bisa membuatku tenang dalam keadaan apapun kini semakin lama semakin menjauh dalam kehidupan nyataku.
*********
08 September 2010
15:50
DBI,Surabaya
cowoook cowok... memang yah... ^^,V
ReplyDeletepengen berkunjung ke surabaya... :)
blog nya unik..ada gambar panda:)
ReplyDeleteYou really ought to be very very persistenet and you should never give up. It is really a nice cerpen,,,,, makasih ya. The results is so nice for this fantastic blog. Thanks for it.
ReplyDeletewaaaaaahhhh ada jg yah malaikat salah.... :D
ReplyDeletenice post brooo
ReplyDeletesae sae artikelnya..
ReplyDeletewaaah ini baru namanya tulisan menarik... makasih dah share...
ReplyDeletemantap juga nie artikel nya sangat menarik nie gan..
ReplyDeletewanita juga bisa sama kemampuannya dengan laki2
ReplyDeletepostingannya panjangggg,penuh makna dan pembelajaran
ReplyDeleteoke juga nie sangat bagus,,,,,
ReplyDeleteok..keep posting y
ReplyDeletemalaikat apa y
ReplyDeleteberkunjung y
ReplyDeletepenuh makna
ReplyDeletekeep posting mas bro:)
ReplyDeletepostingannya hebat gan..........
ReplyDeletenaise posting
ReplyDeleteberkunjung:)
ReplyDeletesalam:)
ReplyDeletesalam;)
ReplyDelete