I Got it

Yupz, aku mendapatkannya. Setelah sekian lama aku berkutat dengan dunia tulis menulis, akhirnya aku mendapatkannya. Beribu terima kasih tak lupa kuucapkan kepada Enchi (sang guru), Mbak Fanny (sang cerpenis), Bang Setiawan (komentator), Gek (komentator), Teh Tika (pembaca setia), Kang Sugeng dan buanyak dech yang suka ngasih-ngasih masukan.



Eits, tunggu dulu. Opo toh iki..... bingung semua kan? Begini, akhirnya aku mendapatkan gaya berceritaku. Dan tentu saja tak lepas dari kalian semua teman-teman blogger, karena teman-teman dunia nyataku gak terlalu merespons hobbyku ini. Selama ini aku selalu mencari jati diri, gaya penulisan dan banyak lah dari segi tulis menulis cerita fiksi tentunya. Dulu aku sering mati ide, tapi kini ide rasanya mengalir kayak air. Emang benr yach, kalau udah nemuin jati diri itu rasanya bebas banget untuk jadi diri sendiri. Yupz, aku pun juga begitu. Dulu aku selalu memaksa ide untuk datang, dan sekarang malah rasanya ide itu terus-terusan mengalir dalam denyut nadiku (halah).

Benar-benar terima kasih banget sama semuanya, utamanya sama enchi yang mau mengajariku secara tidak langsung. Tapi aku masih belum puas, aku masih punya obsesi yang besar. Namun gak ada salahnya kan kalau aku mengucapkan terima kasih yang banyak pada teman-teman blogger semua, itu adalah wujud rasa syukurku karena bisa mengenal teman-teman semuanya.

Bahkan saking banyaknya ide yang sudah tertuang jadi tulisan sampai-sampai aku memakai postingan terjadwal yang selama ini jarang banget aku gunakan fungsinya.

Ternyata patah tulang hati bisa memberiku banyak inspirasi buat cerita. Tapi aku masih ingin terus belajar. Terkadang kalau merenung aku berpikir apa aku salah memilih kuliah di jurusan Teknik Informatika ketika aku lebih suka membuat cerita-cerita fiksi, walau begitu juga aku harus terus melaju untuk jadi sarjana dan diiringi dengan terus menulis cerita. Kalau berpikir seperti ini aku jadi ingat sama puisi karya Ken Terate di novelnya yang berjudul Dokter, Pelukis & Si Plinplan.

Waktu kamu berumur tiga tahun

kamu bilang ingin jadi dokter

karena pernah terpesona pada jas putihnya.

Dua tahun kemudian

kamu ingin jadi guru

karena jatuh cinta pada guru TK-mu

yang bak pahlawan gagah penyelamat bumi.

Ketika kamu berumur 13 tahun

kamu tak ingin jadi apa-apa

karena kamu benci jadi dewasa.

Tapi dua tahun kemudian

kamu mati-matian ingin jadi penyanyi atau model pokoknya selebriti

Apapun yang membuatmu tampil di TV.

Tapi setahun kemudian kamu tahu

jadi selebriti tak selalu menyenangkan

dan kamu tahu kamu bisa hidup mewah dengan jadi pialang saham

Kamu juga tahu melindungi kera di hutan tropis

mungkin sangat memuaskan.

Setelah ulang tahun ke-18

muncul ketakutan-ketakutan

kamu akan gagal

selamanya tak menjadi apa-apa.

Suatu saat nanti,

bila kamu sudah 20 tahun

melamun di ruang kuliahmu

bertanya-tanya,

apakah kamu telah melewati jalan yang benar?

Mungkinkah memulai semua dari awal?

Waktu usiamu 30,

kamu tahu kamu mungkin salah melangkah

bekerja di hotel

ketika lebih suka memakai jins belel.

Suatu saat,

diantara usia belasanmu,

kamu khawatir tak pernah menemukan pujaan hati.

Tapi kamu salah,

karena sedetik kemudian kamu bertemu dengannya.

menatapnya kagum karena ia bagai dewa

Kamu ragu, apakah dia orang itu?

Tapi siapa peduli?

Siapa yang tahu kamu salah atau benar?

Siapa yang bisa memberitahumu

apa yang sebenarnya di ujung jalan sana

kalau bukan kamu yang berjalan diatasnya?

Tapi kamu salah lagi,

dia orang yang salah.

Dia bukan dewa

Kamu menyesal, kecewa, remuk.

Kamu takut akan salah untuk kesekian kalinya.

Tapi tak perlu, tak perlu kecil hati.

meski tahu tak bisa berbalik lagi.

Kamu tetap bisa berbelok, kamu selalu bisa berbelok.

Karena jalan selalu punya persimpangan meski entah kemana

Bila tak bisa mundur,

tak perlu takut,

kita selalu bisa berubah arah.

Yah, seperti itulah. Kadang aku berpikir apa jalan yang kutempuh ini salah, diusiaku yang 20 (yang kata orang masih terlalu muda, tapi menurutku sudah mulai tua) aku mulai takut aku salah langkah. Aku mengambil Teknik Informatika yang jelas-jelas aku lebih suka membuat cerita-cerita fiksi. Tapi yang jelas gak perlu takut, aku gak pernah takut kalau ceritaku nanti akan diolok-olok dan akhirnya sekarang aku - setidaknya - bisa menemukan gaya bertutur kataku dalam cerita, itu karena aku gak pernah takut untuk terus mencoba.

PS: Ini hanya ungkapan rasa syukurku karena sudah bisa menyalurkan bakat menulis yang selama ini kupendam rapat-rapat.