Meski punya sayap seperti burung, tapi saya tak bisa terbang karena saya sadar saya bukan burung. |
Dulu, ketika saya masih berumur belasan tahun. Saya menyukai membaca novel remaja yang penuh dengan mimpi-mimpi, saya selalu suka membaca novel teenlit yang menjual segala macam mimpi tentang persahabatan, tentang masa depan, tentang cinta, dan tentang cita-cita.
Itu dulu, ketika saya masih menggebu-gebu dengan mimpi yang tak kasat mata.
Sekarang, ketika saya sudah menjejaki dunia diluar jangkauan pemikiran saya, ketika saya menjejakkan kaki didunia nyata yang penuh dengan jurang-jurang permasalahan, ketika saya mulai menghadapi segala macam orang dari dunia saya sendiri. Saya merasa, semua mimpi yang saya dapat dulu semuanya percuma.
Dulu, saya selalu mengagung-agungkan yang namanya cinta sejati hingga saya tak pernah merasa kecewa meski belum pernah punya pasangan karena saya yakin suatu saat nanti saya akan menemukan cinta sejati saya. Dulu, saya selalu membanggakan impian saya, apapun itu karena saya yakin suatu saat nanti saya pasti akan menggapai mimpi saya itu. Dulu, saya selalu menghormati persahabatan karena saya yakin sahabat pasti mengerti tentang perasaaan saya seperti yang selalu saya baca dari novel remaja.
Tapi, seiring keremajaan saya yang memudar, saya semakin mengerti bahwa semua itu hanya ilusi. Kenyataan demi kenyataan semakin membuat saya sadar, bahwa cinta gak selalu berakhir bahagia, bahwa sahabat gak selalu bisa mengerti kita, bahwa orang terdekat pun bisa menjadi musuh terbesar kita, bahwa orang yang baik pun bisa menyimpan perasaan buruk terhadap kita, bahwa hidup gak melulu tentang keindahan. Saya sudah merasakan apa yang disebut dengan pengkhianatan, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan caci maki, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan pelecehan ekonomi, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan pandangan sebelah mata, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan tidak dipercayai, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan dilecehkan, saya sudah merasakan apa yang disebut dengan kegagalan.
Dan, ketika semua yang sudah saya rasakan membentuk karakter saya yang sinis, salahkah saya? Ketika saya tak lagi percaya dengan semua perkataan indah yang kalian lontarkan diantara janji-janji kalian yang sudah membusuk dimakan iblis masa lalu, salahkah saya? Saya hanya berpikir realistis, ya.... saya tahu ketika saya bertemu dengan kalian, saya sudah tahu suatu saat nanti saya berpisah dengan kalian. Jadi saya berpikir realistis untuk tidak mempercayai kalian sepenuhnya, setidaknya saya sudah mengatakannya, bahwa saya sudah mematikan perasaan saya sejak saya mengenal arti kata pengkhianatan.
Note : Saya tidak sedang galau. Gambar diambil di file photobucket.
Iya2 vie three tidak lagi galau hehehe...
ReplyDeleteDalam kehidupan ini kita selalu belajar. Belajar tentang apa saja dari pengalaman kita selama ini atau bahkan pengalaman orang lain. Ada kata pepatah, jika kita mengharapkan sesuatu, kita juga harus siap untuk dikecewakan. Mungkin intinya kita harus selalu bersyukur, iklas dan positive thinking agar yang masuk kedalam diri kita adalah energi yang positif. Walaupun sulit kita juga butuh untuk belajar bersyukur dan ikhlas kali ya vit hehehe..
Btw ini bukan kontes kan vit wkwkwkw.... (husss... jangan keras2 ketawanya :D)
Mlm vit. . Mw ngm0ng apa ya q ini. . .kyaknya cuma mau bilang aku sangat suka dgan apa yg km tUlis. .jempol 5 deh. .
ReplyDeleteJangan sampai mimpimu hilang. Karna itu pemacu bagimu untuk maju.
ReplyDeleteSahabat bisa pergi, cinta bisa mati, tapi mimpi harus selalu di hati.
tapi tidak ada salahnya dengan mimipi, justu dengan mimpi dan khayalan kita bisa sedikit bahagia, asal jangan terlalu banyak. bisa jadi orang gila.
ReplyDeleteselamat datang di dunia nyata....
ReplyDeleterealistis itu... ehm.. menyesakkan
ReplyDeleteYang penting ngga ada kepura-puraan bukan??
ReplyDeleteRealistis memang perlu agar kita tak terpuruk saat kita gagal meraih apa yg kita impikan... tapi tetap saja menurutku impian itu masih diperlukan agar hidup kita jadi lebih bergairah.. :)
ReplyDelete