Saya marah, benar-benar marah. Hingga saya tidak tahu bagaimana melampiaskan amarah ini, hingga saya memilih menyendiri, menangis dalam hati. Saya merah, teramat marah. Jika saya melampiaskan amarah saya, maka sahabat yang lain akan merasa sedih, maka itu saya tak tahu harus bagaimana. Sejujurnya saya menulis hanya untuk menuangkan uneg-uneg, dan sejujurnya hari ini saya melampiaskan amarah saya disini sembari menangis.
Bagaimana bisa seseorang yang telah saya anggap sebagai sahabat ternyata mengatakan hal yang menyakitkan. Saya tidak peduli jika yang mengatakan orang lain, karena saya tahu benar mereka tidak mengenal kehidupan saya, mereka hanya melihat dari cover. Tapi jika ternyata yang melakukannya adalah sahabat yang tahu benar bagaimana cara berpikir saya? Lalu tuluskah ia bersahabat dengan saya? Saya terlalu lama memendamnya, terus memasang senyum di hadapannya, menerima ia dengan pelukan hangat. Tapi kenapa semakin menyakitkan, dan dampaknya saya tidak tahan mendengar bullian orang lain, bahkan selama ini saya selalu tidak peduli dengan bullian orang lain karena saya tahu benar sahabat-sahabat saya menerima saya, mendoakan yang terbaik tentang saya. Jika orang lain membully saya tidak peduli karena akan selalu ada doa terbaik dari para sahabat saya. Tapi jika kali ini sahabat yang membully, apa lagi yang saya harapkan?
Saat saya marah, sahabat yang lain terkena imbasnya. Saat saya curhat, nanti dikira saya terlalu baper. Saya tidak tahu mengapa ia melakukan ini, jika orang lain yang melakukannya saya terima karena ia memang bukan orang terdekat saya, dan mereka ingin diakui. Tapi sahabat saya? Yang sudah saya akui sahabat, yang mengerti seluk beluk saya, yang paham akan pemikiran saya. Atau saya yang tidak memahami cara berpikirnya, yang hanya menerimanya dengan pelukan terbuka. Di belakang saya? Bahkan di depan saya? Saya tetap tersenyum, meski sebenarnya hati saya marah, sangat marah. Begitu entengnya dia mengatakan hal itu, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Saya yang tulus menganggapnya sahabat, saya yang tulus menerima dia dalam pelukan saya. Mungkin, sekali lagi mungkin, dia orang lain yang berkedok sahabat. Saya yang terlalu mudah menganggapnya sahabat, tapi jika ini mudah? Perlukah waktu bertahun-tahun hingga dia menyakiti hati saya, padahal dia satu-satunya yang mengerti benar bagaimana saya down saat ini. Bahkan dia tahu benar bagaimana semua pihak memojokkan saya, jika memang tidak bisa bersimpati minimal jangan lah mengatakan hal yang menyakitkan. Toh saya juga mengatakan kepadanya setelah tahu semua ini, bersikaplah seperti biasa. Tapi bukan berarti dia ikut menjadi salah satu pihak yang membulli saya.
Entahlah, saya tidak tahu. Saya teramat marah, hingga ingin menutup semua akun sosmed. Hingga tidak ingin bertemu dengan beberapa orang.
Bagaimana bisa seseorang yang telah saya anggap sebagai sahabat ternyata mengatakan hal yang menyakitkan. Saya tidak peduli jika yang mengatakan orang lain, karena saya tahu benar mereka tidak mengenal kehidupan saya, mereka hanya melihat dari cover. Tapi jika ternyata yang melakukannya adalah sahabat yang tahu benar bagaimana cara berpikir saya? Lalu tuluskah ia bersahabat dengan saya? Saya terlalu lama memendamnya, terus memasang senyum di hadapannya, menerima ia dengan pelukan hangat. Tapi kenapa semakin menyakitkan, dan dampaknya saya tidak tahan mendengar bullian orang lain, bahkan selama ini saya selalu tidak peduli dengan bullian orang lain karena saya tahu benar sahabat-sahabat saya menerima saya, mendoakan yang terbaik tentang saya. Jika orang lain membully saya tidak peduli karena akan selalu ada doa terbaik dari para sahabat saya. Tapi jika kali ini sahabat yang membully, apa lagi yang saya harapkan?
Saat saya marah, sahabat yang lain terkena imbasnya. Saat saya curhat, nanti dikira saya terlalu baper. Saya tidak tahu mengapa ia melakukan ini, jika orang lain yang melakukannya saya terima karena ia memang bukan orang terdekat saya, dan mereka ingin diakui. Tapi sahabat saya? Yang sudah saya akui sahabat, yang mengerti seluk beluk saya, yang paham akan pemikiran saya. Atau saya yang tidak memahami cara berpikirnya, yang hanya menerimanya dengan pelukan terbuka. Di belakang saya? Bahkan di depan saya? Saya tetap tersenyum, meski sebenarnya hati saya marah, sangat marah. Begitu entengnya dia mengatakan hal itu, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Saya yang tulus menganggapnya sahabat, saya yang tulus menerima dia dalam pelukan saya. Mungkin, sekali lagi mungkin, dia orang lain yang berkedok sahabat. Saya yang terlalu mudah menganggapnya sahabat, tapi jika ini mudah? Perlukah waktu bertahun-tahun hingga dia menyakiti hati saya, padahal dia satu-satunya yang mengerti benar bagaimana saya down saat ini. Bahkan dia tahu benar bagaimana semua pihak memojokkan saya, jika memang tidak bisa bersimpati minimal jangan lah mengatakan hal yang menyakitkan. Toh saya juga mengatakan kepadanya setelah tahu semua ini, bersikaplah seperti biasa. Tapi bukan berarti dia ikut menjadi salah satu pihak yang membulli saya.
Entahlah, saya tidak tahu. Saya teramat marah, hingga ingin menutup semua akun sosmed. Hingga tidak ingin bertemu dengan beberapa orang.