*
Za, tak akan pernah berani mengambil belati emas itu dan menancapkannya kepada hati lelaki di depannya. Jika memang harus, ia lebih memilih menancapkan belati itu di hatinya sendiri. Ia mencintai lelaki di depannya, ia bahkan rela jika lelaki itu mengambil belati emas di hadapan mereka dan menancapkan di hati Za. Hatinya telah lebam biru akibat luka yang diciptakan oleh lelaki yang dulu. Menambah satu tusukan lagi di hatinya tak jadi soal bagi Za, ia sudah memeluk erat luka bahkan sebelum bertemu dengan lelaki yang kini tengah menatapnya.
*
Ken, tak mengerti apa yang terjadi di hadapannya. Ia tak mengerti mengapa sebilah belati emas yang terlihat berkilau itu harus teronggok di meja kaca di depannya, seakan menunggunya untuk mengambil dan menancapkan di hati wanita yang kini menatapnya tak berkedip. Sebenarnya ia ingin bertanya pada wanita itu, ada apa ini? Namun, mulutnya seakan tersegel, membisu. Apa yang harus ia lakukan? Ken berteriak di dalam hati, frustasi. Ambil aku Tuan, tusukkan ke hati wanita itu, maka kau akan mengerti. Sebuah suara menggema, membuat Ken penasaran. Perlahan, tangannya bergerak ke atas meja, mengambil belati, menancapkannya ke hati Za.
*
Mereka duduk berseberangan, saling menatap, tak berkedip. Sebilah belati emas menancap erat di hati wanita, berkilau, terlihat indah, tak bergerak, menyelesaikan pekerjaannya untuk menghancurkan hati wanita menjadi serpihan. Hening tercipta, bahkan angin pun mengerti untuk tak lewat di depan mereka. Lelaki itu terdiam, menatap wanita di depannya. Ia mengerti, apa yang telah ia lakukan telah menyakiti wanita itu. Wanita dengan hati yang penuh dengan coretan namanya. wanita itu mencintainya, dan ia pun mulai mencintai wanita itu. Namun, hati itu telah menjadi serpihan, menyatu dengan udara, tak berbekas.
Coretan-coretan sepulang kuliah |
Surabaya
07/12/2015-23:56
"Tuan Besar, tega sekali kau kepada Nona. Menancapkan belati pada hatinya, mengoyakkan rindu hingga serupa serpihan debu."
hai fit apakabar ?
ReplyDeletekabar baik mbak.
Delete